Bahan Alkitab
Lukas 14: 12–14
14:12 Dan Yesus berkata juga kepada
orang yang mengundang Dia: "Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau
perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau
saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya,
karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan
demikian engkau mendapat balasnya. 14:13 Tetapi apabila engkau mengadakan
perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh
dan orang-orang buta. 14:14 Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak
mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat
balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar."
Yesus menyembuhkan orang lumpuh di kolam betesda |
Yohanes 5: 1–9
5:1 Sesudah itu ada hari raya orang
Yahudi, dan Yesus berangkat ke Yerusalem. 5:2 Di Yerusalem dekat Pintu Gerbang
Domba ada sebuah kolam, yang dalam bahasa Ibrani disebut Betesda; ada lima
serambinya 5:3 dan di serambi-serambi itu berbaring sejumlah besar orang sakit:
orang-orang buta, orang-orang timpang dan orang-orang lumpuh, yang menantikan
goncangan air kolam itu. 5:4 Sebab sewaktu-waktu turun malaikat Tuhan ke kolam
itu dan menggoncangkan air itu; barangsiapa yang terdahulu masuk ke dalamnya
sesudah goncangan air itu, menjadi sembuh, apa pun juga penyakitnya.
5:5 Di situ ada seorang yang sudah
tiga puluh delapan tahun lamanya sakit.
5:6 Ketika Yesus melihat orang itu berbaring di situ dan karena Ia tahu, bahwa ia telah lama dalam keadaan itu, berkatalah Ia kepadanya: "Maukah engkau sembuh?" 5:7 Jawab orang sakit itu kepada-Nya: "Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku." 5:8 Kata Yesus kepadanya: "Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah." 5:9 Dan pada saat itu juga sembuhlah orang itu lalu ia mengangkat tilamnya dan berjalan. Tetapi hari itu hari Sabat.
Yohanes 11: 4
11:4 Ketika Yesus mendengar kabar itu, Ia berkata: "Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan."
Matius 9: 28 – 29
9:28 Setelah Yesus masuk ke dalam
sebuah rumah, datanglah kedua orang buta itu kepada-Nya dan Yesus berkata
kepada mereka: "Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?"
Mereka menjawab: "Ya Tuhan, kami percaya." 9:29 Lalu Yesus menjamah
mata mereka sambil berkata: "Jadilah kepadamu menurut imanmu."
A. Pendahuluan
”Dalam realita, para orang yang ”mengalami kebutuhan khusus” di Indonesia memang bermacam-macam. Ada yang mengalami kebutaan, tuli, dan mengalami masalah anggota tubuh (tunanetra, tunarunggu, tunadaksa). Mereka yang mengalami tunadaksa misalnya karena kakinya diamputasi, sehingga tidak punya kaki, ada yang tidak memiliki tangan, bungkuk, anggota badan tidak utuh, dan lain-lain. Juga tarafnya tidak sama, misalnya masalahnya berat, tidak berat, dan ringan.
Para tunadaksa jumlah yang pasti memang kita tidak memilikinya. Meskipun demikian, penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation) diperoleh data kasar bahwa yang mengalami tunadaksa di Asia khususnya di Indonesia kurang lebih 10%, atau sekitar 22 juta orang pada tahun 2007.
Misalnya, di Yogyakarta sesudah gempa bumi pada 27 Mei 2006 ternyata ada 8.122 orang tunadaksa yang masih bertahan hidup. Mereka kebanyakan dari yang memiliki tubuh utuh tiba-tiba mengalami tunadaksa. Jumlah ini merupakan separuh dari jumlah orang-orang yang berkebutuhan khusus di Yogyakarta yang berjumlah 16.000.
Memang di Indonesia banyak hukum dan undang-undang yang melindungi pribadi tunadaksa baik untuk aras nasional maupun internasional. Demikian juga adanya hukum dan sistem pendidikan nasional yang memberi tempat yang menyatakan bahwa pribadi dengan kebutuhan khusus memiliki kesempatan untuk mendapat pendidikan maupun pekerjaan. Sudah ditetapkan bahwa untuk 100 tenaga kerja, seharusnya ada satu orang yang berasal dari pribadi berkebutuhan khusus.
Sayangnya, dalam realita apabila orang melanggar hukum dan undang-undang tidak ada sanksi untuk mereka, misalnya perlu mempekerjakan satu orang berkebutuhan khusus diantara 100 pekerja yang ada. Pusat rehabilitasi juga sulit di jangkau terutama untuk orang-orang miskin. Misalnya, banyak orang tunadaksa yang masih hidup karena gempa bumi, namun tidak dapat menjangkau transportasi untuk pergi ke pusat fisioterapi, meskipun layanan fisioterapi tersebut gratis. Demikian juga pelayanan sosial yang mereka terima juga sangat minim.
Khususnya para penyandang tunadaksa
yang hidup di Indonesia tidak pernah mudah. Meskipun demikian, gereja dengan
bantuan para orang tua juga telah mempunyai inisiatif dan merealisasi perhatian
dan kepeduliannya kepada para penyandang tunadaksa. Demikian juga para
penyandang tunadaksa juga mempunyai organisasi untuk mengembangkan diri mereka
yaitu Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI). Di Yogyakarta kita dapat mengidentifikasi
beberapa organisasi swasta yang secara khusus menangani masalah tunadaksa,
misalnya Dria Manunggal, Ciqal, dan Sapda. (Sumber:
http//www/on/org/news/press/dpcs/2007/gasm301.doc.httm)
B. Orang Berkebutuhan Khusus di Lingkunganku
Tuhan mengasihi orang yang tidak berkebutuhan khusus dan orang yang berkebutuhan khusus. |
Jika kita perhatikan lingkungan kita dengan saksama, sesungguhnya banyak sesama kita yang hidup dengan kebutuhan khusus. Sayang, kebanyakan dari mereka hidup tanpa pendidikan, pengobatan, makanan, dan pakaian yang cukup. Mereka juga tidak mendapat perhatian sebagaimana yang seharusnya, sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka. Di berbagai tempat, pribadi dengan kebutuhan khusus diperlakukan sebagai ”manusia kelas dua”, sebagai objek belas kasihan, bahkan tidak jarang mereka ditelantarkan dan direndahkan. Mereka juga sebagai sasaran prasangka dan diskriminasi dari mayoritas orang. Secara sosial mereka adalah kelompok yang terpinggirkan. Mereka tidak dapat merasakan dan menikmati hak-hak dasar seperti manusia tanpa kebutuhan khusus.
Dalam konteks kompetisi ekonomi, pribadi berkebutuhan khusus juga sering mengalami diskriminasi berkaitan dengan kesempatan kerja karena para pemberi kerja baik di sektor publik maupun privat menganggap pribadi dengan kebutuhan khusus sebagai pribadi yang lemah, tidak berdaya, dan tidak punya kompetensi untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Meskipun ada berbagai himbauan untuk mempekerjakan orang berkebutuhan khusus di dalam industri dan ekonomi.
Kita perlu memahami, bahwa anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Oleh karena itu, mereka memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Meskipun seorang anak mengalami kelainan atau penyimpangan tertentu, namun jika kelainan atau penyimpangan tersebut tidak signifikan, maka sebetulnya mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus, mereka bisa menerima pendidikan bersama anak lain di sekolah umum.
Ada bermacam-macam jenis kebutuhan
khusus, berdasarkan berbagai studi yang paling sering dijumpai di Indonesia
sebagai berikut:
1. Tunanetra/anak yang mengalami
gangguan penglihatan.
2. Tunarungu/anak yang mengalami
gangguan pendengaran.
3. Tunadaksa/anak mengalami kelainan
anggota tubuh/gerakan.
4. Tunawicara/anak yang mengalami
gangguan dalam berbicara.
5. Tunalaras/anak yang mengalami
gangguan emosi dan perilaku.
6. Tunagrahita/anak yang mengalami kelemahan dalam berpikir dan daya tangkap.
Dalam konteks Indonesia, memang kita belum mempunyai data yang akurat dan spesifik tentang berapa banyak jumlah anak berkebutuhan khusus. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2010), jumlah anak berkebutuhan khusus yang berhasil didata, terdapat sekitar 1.5 juta jiwa. Namun secara umum, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa paling sedikit ada 10 persen anak usia sekolah yang memiliki kebutuhan khusus. Di Indonesia, jumlah anak usia sekolah, yaitu 5–14 tahun, ada sebanyak 42,8 juta jiwa. Jika mengikuti perkiraan tersebut, maka diperkirakan terdapat kurang lebih 4,2 juta anak Indonesia yang berkebutuhan khusus.
Di beberapa daerah di Indonesia, bahkan tidak ada tempat dan usaha untuk merehabilitasi keadaan mereka. Lebih-lebih untuk kaum perempuan dengan kebutuhan khusus, sering mereka mendapat perlakuan yang lebih buruk bahkan banyak yang mengalami pelecehan seksual.
Dalam lingkup keluarga, banyak anggota keluarga dengan kebutuhan khusus juga tidak diperlakukan secara baik. Banyak yang ditelantarkan dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pribadi dengan kebutuhan khusus juga dianggap secara mental tidak bisa berpikir dengan baik, sehingga dianggap tidak dapat mengambil keputusan secara tepat.
Seringkali orang dengan kebutuhan khusus dipandang ”sebelah mata”. Sebetulnya kebutuhan khusus bukanlah penyakit, jadi tidak benar jika ada orang yang takut mereka akan menularkan kekurangan mereka. Mereka lahir dengan cara yang sama seperti kita, juga diciptakan dan dikasihi Tuhan, seperti Tuhan mengasihi kita.
Beberapa masalah yang dialami orang
berkebutuhan khusus di tengah keluarga antara lain:
1. Tidak Mendapat Warisan dari Orang
Tuanya
Pada saat pembagian warisan, terutama berkaitan
dengan harta benda dan tanah, mereka dianggap bukan sebagai pewaris yang berhak
mendapat warisan.
2. Sebagai Noda Keluarga
(Stigmatization)
Pribadi dengan kebutuhan khusus sering
dianggap sebagai noda keluarga, mereka dianggap lebih rendah, tidak sempurna.
Orang seringkali menghindar berhubungan dengan mereka.
3. Rentan terhadap Pembunuhan
Di beberapa masyarakat, anak-anak
berkebutuhan khusus termasuk seringkali rentan terhadap pembunuhan. Hal ini
terjadi karena anak tersebut dianggap sebagai pembawa bencana atau mereka ingin
mempertahankan status keluarga.
4. Dibuang
Dalam banyak kasus anak tunadaksa juga
sering di buang untuk menghindari noda keluarga.
5. Dikurung
Keadaan ini terjadi untuk
menyembunyikan hal yang dianggap aib keluarga. Dalam keluarga mereka
diasingkan, atau dikucilkan dan disembunyikan. Beberapa keluarga mengirim anak
berkebutuhan khusus ke pusat penampungan anak berkebutuhan khusus, namun mereka
sangat jarang dikunjungi oleh keluarga.
6. Buta Huruf
Pribadi berkebutuhan khusus sering
tidak menerima perlakuan dan hak
pendidikan, banyak yang drop out dan tetap buta huruf.
7. Disia-Siakan atau
Ditelantarkan
Banyak orang dengan kebutuhan khusus
yang disia-siakan oleh keluarga, padahal banyak yang dapat mengalami pemulihan.
C. Teman dengan Kebutuhan Khusus dan Pendidikan
Pada hakikatnya, semua orang di Indonesia, baik yang tidak berkebutuhan khusus maupun yang memiliki kebutuhan khusus, memiliki kesempatan yang sama dalam hal pendidikan dan pengajaran. Meskipun memang harus diakui bahwa teman yang mempunyai kebutuhan khusus dalam realita memiliki berbagai hambatan dalam kondisi fisik dan kadang-kadang juga psikisnya. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dan kehidupannya.
Seringkali mereka juga disebut sebagai remaja luar biasa, hal itu diasumsikan berkaitan dengan kondisi jasmani, mental, maupun rohani yang berbeda dibanding dengan remaja tidak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, remaja tersebut digolongkan sebagai golongan luar biasa, karena tidak dapat dimasukkan dalam kategori sebagai anak tidak berkebutuhan khusus baik fisik, mental, maupun intelegensianya.
Masalah utama bagi pribadi berkebutuhan khusus biasanya ditunjukkan dengan perilakunya pada saat melakukan aktivitas bersama dengan anak-anak tidak berkebutuhan khusus yang lain. Misalnya, ketika mereka bergaul atau melakukan aktivitas bersama, mereka akan menghadapi berbagai kesulitan, baik kegiatan fisik, psikologis, dan sosial. Seringkali kita jumpai secara mental teman kita dengan kebutuhan khusus cenderung merasa rendah diri, malu, apatis, dan sensitif, kadang-kadang juga muncul sikap egois terhadap lingkungannya. Situasi inilah yang seringkali mempengaruhi kemampuan pribadi berkebutuhan khusus dalam hal berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
Kebutuhan khusus jenis apapun, hal ini merupakan pengalaman pribadi. Keadaan ini berarti siapapun yang berada di luar dirinya sulit untuk mengerti, merasakan, dan memahami karena tidak mengalaminya. Pribadi yang satu belum tentu sama dengan pribadi yang lain berkaitan dengan apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Perbedaan kebutuhan khusus yang dialami seseorang, hal itu sering mempengaruhi atau mengganggu eksistensinya sebagai makhluk sosial. Demikian pula dampak psikologis yang ditimbulkan sering kali tergantung pada seberapa berat kebutuhan khusus yang dialaminya. Kapan mulai terjadi kelainan, seberapa besar kualitas kebutuhan khusus dan seberapa besar dampak psikologis teman kita atau siswa tersebut, dapat mempengaruhi kondisi kehidupannya secara utuh (holistik).
Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan terhadap anak dan remaja yang terisolasi dari lingkungan sosialnya (Longchar & Cowans, 2007: 35) menunjukkan mereka sering menjadi mudah marah, kaku, sensitif, dan kadang-kadang tidak dapat memaafkan orang lain. Hal ini perlu kita sadari bahwa dalam kondisi tertentu kita mempunyai kesulitan dalam hal berelasi dan bergabung dalam pergaulan dengan mereka.
Dalam situasi seperti itu, untuk mendapatkan hak pendidikan dan pengajaran, diharapkan kita memberikan dorongan agar teman kita yang berkebutuhan khusus tidak ragu-ragu mengungkapkan kebutuhannya dan kesulitannya kepada orang lain, misalnya kepada teman, guru agama, guru yang lain, ataupun konselor di sekolahnya. Dalam situasi bagaimanapun seharusnya sekolah merupakan anugerah bagi semua orang termasuk pribadi berkebutuhan khusus. Anak dan remaja yang mengalami kebutuhan khusus, harus diperlakukan sama dalam konteks pendidikan seperti anak dan remaja yang normal.
Sesungguhnya anak-anak berkebutuhan
khusus tidak selalu dan selamanya memiliki keterbelakangan mental. Bahkan dalam
realita pribadi dengan kebutuhan khusus sering mempunyai kemampuan konsentrasi
maupun daya pikir yang lebih tinggi dibanding anak tidak berkebutuhan khusus,
juga seringkali kebutuhan khusus yang dialami tidak mempengaruhi baik
perkembangan jiwa, fisik, dan kepribadiannya. Demikian juga, ada banyak remaja
dengan kebutuhan khusus yang hanya mengalami sedikit hambatan, oleh karena itu
mereka dapat mengikuti pendidikan seperti anak tidak berkebutuhan khusus
lainnya.
D. Tuhan Yesus Solider pada Orang dengan Kebutuhan Khusus
Bagaimana pandangan dan sikap Tuhan Yesus terhadap orang dengan kebutuhan khusus? Pada zaman Tuhan Yesus, budaya Yahudi sering meminggirkan, mendiskriminasi, bahkan seringkali hanya menghargai hukum secara formalitas saja.
Dalam pandangan orang Yahudi seperti yang terefleksi dalam Alkitab, pada umumnya orang berkebutuhan khusus yang dianggap ”orang berdosa” dapat dikategorikan dalam 2 (dua) hal. Yang pertama, orang-orang yang berbuat kesalahan secara publik dan berbuat kriminal. Kedua, orang-orang yang dianggap rendah, misalnya orang yang miskin, buta, lumpuh, tuli, timpang, lepra, kesemuanya berdasar kepada dosa dan tidak murni. Mereka tidak dapat berpartisipasi dalam acara-acara komunitas maupun masyarakat.
Tuhan Yesus menentang semua sikap yang
tidak benar dan diskriminasi. Injil Lukas merekam bagaimana sikap Tuhan Yesus
kepada orang dengan kebutuhan khusus dan dianggap berdosa (Luk. 14: 12–14).
Tuhan Yesus menghargai dan mengasihi dia: ”dan
Yesus juga berkata kepada orang yang mengundang Dia: ”apabila engkau mengadakan
perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu,
atau saudara-saudaramu, atau kaum keluargamu, atau tetangga-tetanggamu yang
kaya karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan
demikian engkau mendapat balasannya. Tetapi apabila engkau mengadakan
perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh,
dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai
apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasannya pada
hari kebangkitan orang-orang benar.”
Ayat-ayat ini menyadarkan kepada kita semua termasuk gereja dan keluarga kepada siapa kita harus mengekspresikan solidaritas kita? Apakah kepada orang kaya atau orang berkebutuhan khusus, dan yang miskin? Sebetulnya jawabannya jelas kepada orang dengan kebutuhan khusus dan yang miskin, serta yang dikucilkan oleh masyarakat atau keluarganya. Sikap Tuhan Yesus membawa pesan agar kita bersikap menerima, berbelas kasih, dan memiliki kasih. Secara sengaja Tuhan Yesus menghilangkan batas-batas yang dibuat oleh keluarga dan masyarakat dan membentuk pemahaman baru tentang komunitas yang berakar kepada anugerah atau karunia Tuhan. Ini semua merupakan tantangan kepada orang-orang yang mengucilkan pribadi orang berkebutuhan khusus dalam keluarga dan masyarakat. Tuhan Yesus memang tidak mengungkapkan bahwa Dia akan menyembuhkan semua penyakit, juga tidak pernah tergoda untuk memulihkan keadaan semua orang dengan kebutuhan khusus. Tidak semua orang sakit di Palestina atau yang buta, tuli, lumpuh, dan anggota badan tidak lengkap disembuhkan oleh Tuhan Yesus. Dari sekian banyak yang sakit, hanya seorang di kolam Bethesda yang mengalami kelumpuhan dan menunggu selama 38 tahun yang secara fisik mengalami perubahan (Yoh. 5: 1–3). Jadi bila ada orang yang mengatakan bahwa seseorang tidak mengalami kesembuhan atau pemulihan karena tidak memiliki iman, sesungguhnya hal itu bertentangan dengan ajaran Tuhan Yesus. Bahkan hal tersebut akan menambah penderitaan dan kesakitan.
Di dalam Kerajaan Tuhan, Tuhan menghendaki adanya relasi yang adil dan kemauan untuk berbagi, saling memperkuat, dan memberdayakan. Tuhan Yesus memahami bahwa relasi yang adil dapat terjadi hanya jika para orang dengan kebutuhan khusus merasa kuat, setara, dan berada dalam suatu keluarga dan komunitas yang kondusif untuk menguatkan masing-masing orang.
Menarik bila kita menyimak secara khusus Kitab Yohanes yang mengungkapkan mengenai keterlibatan Tuhan Yesus dengan orang-orang yang mengalami kebutuhan khusus. Pelayanan awal Tuhan Yesus kepada banyak orang dicatat dalam Yohanes pasal 2–4. Selanjutnya pada pasal 5–12 dapat dilihat bagaimana orang melakukan berbagai perlawanan kepada Tuhan Yesus. Dalam Yohanes pasal 5 dapat ditemukan suatu perselisihan antara Tuhan Yesus dengan para pemimpin agama, sesudah Tuhan Yesus menyembuhkan orang yang lumpuh yang menunggu pertolongan di kolam Bethesda. Para penguasa menuduh Tuhan Yesus melakukan hal yang salah karena melakukan penyembuhan pada hari Sabat (Yoh. 5: 8–10, 16, 18) penyembuhan tersebut merupakan suatu karya yang menyatakan kasih Allah kepada orang yang mempunyai kebutuhan khusus.
Karya kasih dari Tuhan Yesus selanjutnya terungkap dalam Yohanes 9 pada saat Kristus menyembuhkan orang yang buta. Kitab Yohanes melaporkan sekali lagi terjadi reaksi yang keras karena Kristus menyembuhkan pada hari Sabat dan Tuhan Yesus mengidentifikasikan diri dengan orang yang menderita terjadi lagi. Selanjutnya dalam Yohanes pasal 10, penyembuhan terhadap orang buta menjadi hal yang kontroversi diantara para pemimpin Yahudi, dan mereka akan melempari Tuhan Yesus dengan batu karena mengungkapkan diri-Nya sebagai Tuhan (Yoh. 10: 32–33).
Selanjutnya dalam kisah tentang menghidupkan Lazarus, yang bukan kisah tentang penyembuhan, namun tentang memulihkan kehidupan. Kebangkitan Lazarus mengungkapkan lagi karya dan kemuliaan Allah (Yoh. 11: 4). Oleh karena itu, para pemimpin Yahudi, merencanakan untuk menangkap Tuhan Yesus (Yoh. 11: 57). Akhirnya mereka dapat melakukan apa yang diinginkan dengan menangkap Tuhan Yesus (Yoh. 18: 1–12) dan mengolok-oloknya (Yoh. 19: 2–3). Meskipun Ia tidak bersalah (Yoh. 18: 28–31; 19: 4, 6, 12) namun Ia dijatuhi hukuman mati di atas salib (Yoh. 19: 16–18). Dalam realita, Tuhan Yesus dengan kasih-Nya mengungkapkan karya-karya untuk memulihkan kehidupan fisik bagi orang berkebutuhan khusus, juga untuk orang yang mengalami kematian. Sebagai konsekuensi dari itu semua, Kristus yang peduli kepada kita dan memberikan hidup-Nya sendiri. Dengan demikian, Tuhan Yesus adalah pemberi kehidupan, menderita untuk orang yang berkebutuhan khusus. Di tengah-tengah usaha untuk pemulihan dan kesembuhan, realita kekuatan dan penghiburan yang datang dari kasih Yesus yang mau menderita untuk orang-orang berkebutuhan khusus, diharapkan dapat berperan sebagai kekuatan bagi mereka.
Dari ungkapan di atas kita dapat
menyimpulkan, memang dalam realita Tuhan Yesus tidak selalu menyembuhkan orang
berkebutuhan khusus. Di sini Tuhan Yesus ingin mengungkapkan sikap-Nya yang
menolong secara utuh terhadap orang yang berkebutuhan khusus untuk menentang sikap
diskriminasi masyarakat kepada penyandang kebutuhan khusus. Di samping itu,
karena kasih-Nya secara sukarela ia bersedia menderita untuk orang-orang yang
mengalami kebutuhan khusus, yang oleh karena mereka Ia disengsarakan. Dengan
demikian kita dapat memahami bahwa Tuhan Yesus telah menunjukkan keteladanan
dalam kepedulian-Nya kepada orang-orang berkebutuhan khusus, di tengah-tengah
realita keadaan yang dialaminya.
E. Alternatif yang Dapat Kita Lakukan
Dalam kenyataan, banyak sekali keluarga Kristen yang mengerti keadaan remaja berkebutuhan khusus. Mereka memperlakukan anaknya sebagai orang yang istimewa, yang berharga di tengah keluarga, yang kebutuhannya diusahakan, dipenuhi, dikasihi, dan diperhatikan. Kita tidak dapat menyamaratakan semua keluarga. Tiap keluarga memang berbeda-beda keadaannya, sikapnya, kondisi, dan kemampuannya. Lingkungan yang kondusif menyebabkan remaja berkebutuhan khusus dapat berkembang maksimal dan merasa didukung serta diterima. Pada akhirnya dia dapat hidup mandiri, bahkan ada juga yang memperhatikan teman-teman lain yang mempunyai kebutuhan khusus. Keadaan berkebutuhan khusus menjadikan dia berjuang mengatasi keadaan dan keterbatasannya. Banyak orang berkebutuhan khusus yang tidak mudah marah dan juga tidak mudah mengasihani diri sendiri, meratapi keadaan, menyalahkan orang lain; karena sikap itu tidak menolong, bahkan memperburuk keadaan. Sikap yang menolong adalah sikap yang mau mempertaruhkan diri dan berjalan bersama Tuhan, karena dia tahu Tuhan sahabat setia, yang lebih memahami keadaan dirinya melebihi pemahaman siapapun.
Beberapa tindakan yang disarankan oleh
Harold (2002: 60) supaya kita dapat membimbing maupun mengungkapkan kepedulian
kita sebagai berikut.
1.
Tunjukkan perasaan positif. Tunjukkan bahwa kita menyayangi atau
mengasihi orang dengan kebutuhan khusus. Kita dapat mengekspresikan perasaan
kasih sayang secara alami.
2. Beradaptasi dengan orang
berkebutuhan khusus dan mengikuti keinginannya. Secara alami orang akan
berinisiatif berdasarkan perhatian dan minatnya. Oleh karena itu, kita harus
berinteraksi dengan mereka dan memperhatikan apa yang diminati dan dialami oleh
orang dengan kebutuhan khusus.
3. Berbicara dengan mereka mengenai
hal-hal yang menarik baginya. Komunikasi seperti ini membantu mengembangkan
kemampuan untuk berbagi pengalaman, pengertian, keinginan, dan kebutuhan.
4. Berikan pujian dan pengakuan untuk
hal-hal yang dicapai oleh mereka. Menunjukkan penerimaan dan penghargaan
melalui pujian merupakan prasyarat untuk mengembangkan rasa percaya diri,
inisiatif, dan keterampilan praktis maupun sosial.
5. Berikan arti pada pengalaman yang berkaitan dengan lingkungannya. Dengan penjelasan saat kita berbagi pengalaman, maka hal itu akan menimbulkan perasaan senang dan antusias.
Sesama dengan kebutuhan khusus atau
sesama kita yang hidup dengan keterbatasan tertentu sesungguhnya berada dekat
dengan kita, mereka berada di tengah keluarga, sekolah, dan komunitas kita.
Mereka sering mengalami ketidakadilan, karena adanya prasangka, diskriminasi,
kemiskinan dan disisihkan. Kita perlu memiliki kesadaran untuk mengubah
kebiasaan lingkungan yang sepi kasih, dengan meneladani kehidupan Tuhan Yesus
Kristus baik kata maupun perbuatan yang dilakukan-Nya. Keadaan ini bukan hanya
sekedar pilihan yang dapat kita lakukan, namun sesungguhnya tak ada pilihan
lain, kecuali kita harus meneladani-Nya. Kita harus setia dengan ajaran dan
melakukan kesaksian yang hidup dalam kepedulian bagi sesama dengan kebutuhan
khusus. Dalam realita, orang Kristen perlu mengkritisi pandangan masyarakat
yang tidak adil, menganggap orang lain tidak setara, dan tidak memiliki kasih
kepada sesama. Orang berkebutuhan khusus seharusnya terlibat dan turut
berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan sesuai dengan kemampuannya.
F. Penutup
Ada banyak orang yang memiliki
kebutuhan khusus yang hidup disekitar kita. Sayang kita kurang memperhatikan
dan peduli kepada mereka. Tuhan Yesus memberikan teladan bagaimana seharusnya
remaja Kristen peduli kepada orang yang berkebutuhan khusus, lebih-lebih
apabila mereka tidak dipedulikan oleh sesamanya (keluarga, gereja, masyarakat).
Sebagai remaja Kristen kita perlu meneladani sikap Tuhan Yesus Kristus. Ada
banyak alternatif yang dapat kita lakukan, sebagai bentuk kepedulian kepada
orang berkebutuhan khusus.
Nyanyian: KJ 424 ”Yesus Menginginkan Daku”
Yesus menginginkan daku bersinar
bagi-Nya.
Dimana pun kuberada, ku mengenangkan-Nya.
Reff :
Bersinar, bersinar; itulah kehendak Yesus.
Bersinar, bersinar, aku bersinar terus.
Yesus menginginkan daku menolong orang
lain.
Manis dan sopan selalu, ketika ku bermain. Reff.
Kumohon Yesus menolong, menjaga
hatiku.
Agar bersih dan bersinar, meniru
Tuhanku. Reff.
Referensi:
Pendidikan Agama Kristen dan Budi
Pekerti Untuk SMP Kelas IX / Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.-- Edisi Revisi. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2018.
Gambar Yesus di Betesda: https://sangsabda.files.wordpress.com
Baca juga:
PAK Kelas 9 Semester 2 | |
01 | |
02 | |
03 | |
04 | |
05 | |
06 | |
07 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar