Senin, 19 September 2022

Bab 4 Hidup Manusia dalam Pemeliharaan Allah

Bahan Alkitab

Sabda Yesus Kasihilah Tuhan Allahmu

Matius 22:37-39

22:37 Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. 22:38 Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. 22:39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Mazmur 133

133:1 Nyanyian ziarah Daud. Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! 133:2 Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya. 133:3 Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya. 

 

A. Pendahuluan 

Pembahasan mengenai keberagaman agama dan hidup dalam masyarakat majemuk dibahas pada kelas dan jenjang berbeda. Pada jenjang SMP kelas 7 hanya akan dibatasi pada upaya-upaya dalam membangun kerja sama antar umat beragama dan beberapa sikap yang nampak dalam hubungan tersebut. 

Diharapkan setelah mempelajari topik ini kalian akan bersikap lebih terbuka dan memahami orang yang beragama lain. Keterbukaan penting karena di masa kini manusia tidak dapat hidup sendiri, di sekitar kita ada teman, sahabat dan saudara-saudara yang berbeda bukan hanya suku dan budaya saja tapi juga agama. Perbedaan itu tidak boleh menyebabkan perpecahan ataupun melahirkan prasangka buruk dalam diri kita. Sebaliknya perbedaan itu merupakan kesempatan untuk mempelajari keyakinan agama lain sehingga kita dapat menghargainya. 

Remaja Kristen wajib mengasihi sesama dan menunjukkan solidaritas serta kebaikan kepada semua orang tanpa memandang latar belakang agama. Solidaritas tidak berarti melebur tanpa batas. Solidaritas terhadap orang yang berbeda agama merupakan wujud cinta kasih pada sesama yang menjadi hukum utama dalam ajaran iman Kristen.

 

B. Masyarakat Global yang Heterogen 

Kita kini hidup di era digital dalam suasana global dimana mobilitas manusia sangat intens, batas-batas antar negara semakin menipis diterjang oleh canggihnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya alat-alat informasi dan komunikasi. Dengan bantuan berbagai media canggih kejadian di suatu tempat yang berjarak jauh antar benua dapat tersebar dengan cepat ke berbagai belahan dunia. 

Mobilitas manusia yang intens antar benua, antar negara, pada aras lokal pun mobilitas manusia dalam suatu negarapun sangat intens menyebabkan percampuran suku, bangsa dan budaya serta agama semakin beragam. Dari segi historis, Indonesia adalah negara kebangsaan dimana bangsanya adalah bangsa yang plural dan pluralitas itu diikat oleh semboyan “Bhineka Tunggal Ika” berbeda-beda tetapi tetap satu juga. 

Bapak bangsa Indonesia, Soekarno telah melihat potensi disintegrasi bagi bangsa Indonesia yang plural oleh karena itu ia menemukan semboyan Bhineka Tunggal Ika untuk mempersatukan bangsa yang plural ini dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. 

Kesadaran akan keberagaman ini mulai merebak 20 tahun terakhir dan semakin memperoleh tempat sejak reformasi bergulir. Memang harus diakui meskipun kini kita hidup ditengah dunia yang mengglobal namun percakapan-percakapan mengenai hidup bersama dalam keberagaman khususnya keberagaman agama masih tetap menjadi topik yang tidak terlalu mudah untuk diperdebatkan. Meskipun kesadaran itu telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia, namun juga masih cukup banyak orang yang belum secara terbuka dan tulus mau menerima dan mengakui keberagaman agama. 

Tidak mudah untuk membangun hubungan dengan sesama kita yang berbeda keyakinan. Sebab setiap agama cenderung mengajarkan bahwa agama itulah yang terbaik dan paling benar, sementara semua agama lainnya salah atau keliru. Akibatnya, para pengikut agama saling mengklaim bahwa hanya merekalah yang akan masuk surga. 

Dalam agama Kristen, dalam Injil Yohanes 14:6 Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Dalam Kisah Para Rasul 4:12, Petrus menyatakan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Landasan ini telah menjadi dasar bagi mereka yang mengklaim hanya agamanya saya saja yang paling benar. 

Padahal ayat ini tidak berbicara mengenai hubungan antar agama melainkan mengenai keteguhan dalam iman dan pilihan hidup untuk memilih Kristus. Pilihan itu tidak mengabaikan kemanusiaan, keadilan dan persahabatan dengan orang lain. Bahkan ketika kita mengenal orang beriman lain, membangun relasi dan pertemanan, maka kita akan semakin memperkaya visi iman kita, bahwa Kristus telah mengajarkan hukum cinta kasih yang melewati batas-batas perbedaan dengannya. Kita semakin meyakini jalan yang kita pilih dan iman yang kita teguhkan.

 

C. Masyarakat Indonesia yang Majemuk 

Di dunia ini banyak negara yang memiliki keberagaman, namun Indonesia memiliki beribu pulau, baik yang kecil maupun besar, memiliki suku, budaya, bahasa dan agama yang amat beragam. Hal ini merupakan kekayaan yang patut disyukuri. Namun keberagaman ini juga dapat menjadi akar konflik dan perpecahan jika tidak dikelola dengan baik. 

Sejarah telah membuktikan itu, yaitu ketika di beberapa daerah terjadi konflik yang berlatar belakang suku dan agama. Keberagaman memang dapat menjadi akar konflik, namun konflik akan semakin parah ketika orang tidak mengenyam pendidilkan yang cukup. Ketika orang tidak berpendidikan, maka mereka akan sangat gampang diprovokasi dan mengalami apa yang disebut “brain wash” atau otaknya dicuci sehingga kurang memiliki kemampuan untuk membedakan mana fakta dan mana provokasi. 

Hal itu semakin parah karena di zaman digital ini sebuah berita bohong akan cepat beredar ke tiap pelosok tempat. Karena itu seiring dengan gencarnya upaya pemerintah untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai moderasi beragama, hendaknya diikuti dengan pembangunan pendidikan dan pemberantasan buta huruf. Hanya pendidikanlah yang akan mampu meminimalisir pengaruh-pengaruh negatif dan bentuk-bentuk provokasi yang mengadu domba umat beragama. 

Beberapa konflik besar yang pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia meninggalkan kenangan pahit yang cukup membekas dihati sanubari orang-orang yang mengalami akibat dari konflik tersebut. Daerah Papua, Ambon, Poso dan Sampit adalah daerah-daerah dimana terjadi konflik yang membawa kematian cukup banyak orang. 

Prasangka etnis, suku dan agama memang amat mudah dibangun ditengah masayarakat yang masih berpikiran sempit. Oleh karena itu pemerintah kini gencar melakukan sosialisasi “moderasi beragama” yaitu pengakuan atas keberadaan pihak lain, memiliki sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. 

Diperlukan peran pemerintah, tokoh masyarakat, dan para penyuluh agama untuk mensosialisasikan, menumbuhkembangkan moderasi beragama kepada masyarakat demi terwujudnya keharmonisan dan kedamaian. Namun demikian, kehidupan keberagamaan yang penuh toleransi itu bukan hanya lahir dari aturan pemerintah namun harus dikondisikan terutama dari dalam keluarga melalui pola asuh yang inklusif dimana anak-anak dididik oleh orang tuanya untuk selalu berbaik sangka, berpikir positif terhadap orang lain, mengasihi sesama tanpa memandang perbedaan latar belakang agama dan suku. Jadi pembentukan visi pembiasaan hidup terutama dibentuk dalam keluarga dan ditopang melalui lembaga pendidikan yang semakin memperkuat nilai-nilai toleransi dalam diri seseorang. 

Ada seorang tokoh studi agama-agama, Paul Kniter yang mengatakan bahwa kebenaran sebuah agama adalah berkontribusi pada tindakan manusia yang mengarah pada keadilan lingkungan dan manusia. Artinya bahwa agama baru menjadi agama yang benar ketika berkontribusi pada keadilan dan kemanusiaan, bukan hanya memiliki doktrin atau ajaran saja, namun yang mewujudkan ajarannya dalam kehidupan nyata bagi kemanusiaan dan keadilan. 

Itu berarti ketika kita mendiskusikan mengenai hubungan antar umat beragama, maka diskusi itu hendaknya dimulai dari titik berangkat kemanusiaan dan keadilan dan hal itu hendaknya dijadikan titik temu agama-agama dan pemeluknya. Bahwa agama hadir untuk kebaikan manusia untuk membangun solidaritas dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan secara bersama-sama.

 

D. Beberapa Sikap dalam Kaitannya dengan Hubungan Antar Agama 

Kita membaca di berbagai media, ataupun menonton berita di televisi, di youtube, bagaimana pada arus global konflik dan kekerasan atas nama agama masih terus berlangsung, misalnya di India dan Pakistan. Di Bosnia, pembantaian terhadap etnis Bosnia-Herzegovina dilakukan oleh orang-orang Serbia dengan alasan balas dendam atas apa yang dilakukan orang-orang Turki, nenek moyang orang etnis Bosnia-Herzegovina, pada tahun 1300-an. Sudah tentu ini sebuah klaim yang sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sebuah dendam yang terjadi 600 atau 700 tahun yang lalu dibalaskan kepada cucu-buyut si pelakunya sekarang?

 

Gambar Keberagaman Bangsa Indonesia

Dari sini jelas terlihat bahwa motif-motif agama digunakan untuk membakar emosi orang dan membangkitkan kebencian terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. 

Konlik-konlik yang terjadi di Halmahera, Ambon, Rengasdengklok, Poso, dll, semuanya bermotikan agama. Namun penyebabnya diduga keras sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama. Sebab-sebab yang ada di balik semuanya itu seringkali bersifat politis karena melibatkan kepentingan elit-elit politik tertentu. Namun agama dimanfaatkan untuk menghancurkan masyarakat dan untuk menyembunyikan motifnya yang sesungguhnya. 

Di Indonesia para politisi sering kali menggunakan politik identitas, khususnya agama dalam memuluskan jalannya untuk memenangkan pertarungan politik. Cara ini amat rentan membawa perpecahan dalam tubuh bangsa Indonesia, dan cara ini amat tidak terpuji. Seharusnya yang digunakan adalah kompetensi, integritas, karya dan rekam jejak mereka, bukan politik identitas. 

Kita berharap para politisi berhenti menggunakan agama sebagai kendaraan politik, sehingga rakyat dapat hidup dalam kebersamaan yang indah, dimana solidaritas dibangun diatas berbagai perbedaan yang ada. Indonesia adalah rumah kita bersama, yang harus dijaga dan dirawat sehingga dalam keberagaman bangsa kita terus tumbuh menjadi semakin kuat. 

Berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa, hendaknya diatasi secara bersama-sama. Setiap orang dapat menyumbangkan partisipasi nyata dalam membangun bangsa ini melalui peran masing-masing. Bagi anak-anak remaja mereka dapat melakukan berbagai kegiatan yang semakin memperkuat hubungan antar umat beragama. Mereka juga dapat melakukan berbagai kampanye bagi terwujudnya moderasi bersagama di Indonesia.

 

Ada beberapa sikap yang umumnya diambil orang ketika ia berhadapan dengan orang yang berkeyakinan lain, yaitu: 

1.       Semua agama sama saja

Sikap ini melihat semua agama itu relatif. Tak satu agama pun yang dapat dianggap baik. Jika tak ada agama yang dipandang baik, maka hanya diri si pemikir sendirilah yang benar. Lalu mengapa ia beragama? Agama menjadi sarana bagi manusia dalam mewujudkan imannya. Agama mengajarkan ajaran iman sebagai penuntun hidup, jika hal itu dipandang sama dalam semua agama, maka orang tidak perlu beragama, atau memeluk semua agama sekaligus, dan betapa kacaunya jika hal itu terjadi. 

2.       Hanya agama saya yang paling baik dan benar

Agama lainnya tidak benar, ajarannya sesat karena itu saya tidak perlu bergaul dengan mereka. Sikap seperti ini lahir dari fanatisme yang berlebihan seperti penyakit akut. Paham seperti ini akan menjadi bibit konflik yang berkepanjangan. Ketika kita mengklaim bahwa agama kita saja yang paling benar, hal itu menyinggung rasa nyaman orang-orang beriman lainnya. Orang yang beragama lain semata-mata dipandang sebagai objek, sasaran, target, untuk diinjili.

 

Pendidikan Agama Kristen di sekolah bukanlah penginjilan dalam pengertian “siar agama” karena pendidikan agama di sekolah harus taat kepada UU Sisdiknas. PAK dilaksanakan baik di sekolah swasta maupun negeri dan ada anak-anak beragama lain yang juga diwajibkan mengikuti pembelajaran PAK oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa anak-anak itu sudah memiliki agamnya sendiri. Ada aturan pemerintah yang mengikat berkaitan dengan hal tersebut. Selain itu, pendekatan kurikulum PAK juga bukanlah pendekatan theologis dogmatis dan hal itu harus dipahami oleh guru-guru! Pendekatan PAK disekolah adalah pendekatan isu-isu kehidupan yang dibahas dalam tema-tema aktual. Sedangkan pendekatan theologis dogmatis menjadi ciri khas PAK dalam gereja. 

3.       Toleransi

Saya bersedia hidup berdampingan dengan orang yang beragama lain, tetapi hanya itu saja. Lebih dari itu saya tidak mau. Seruan “toleransi antar umat beragama” seringkali disampaikan oleh pemerintah. Orang-orang yang berbeda agama diajak untuk bersikap toleran. Namun sikap ini pun tampaknya tidak cukup. Menurut KBBI, kata “toleransi” mengandung arti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang berbeda dengan diri sendiri. Artinya orang dapat menerima berbagai perbedaan yang ada. 

4.       Menghargai agama lain

sikap ini hanya dapat timbul pada diri orang yang dewasa imannya, orang yang dapat menemukan kebaikan di dalam agama lain dan menghargainya, tanpa merasa terancam oleh kehadiran orang lain. Menghargai agama lain tidak berarti kita kehilangan iman. Justru penghargaan terhadap agama lain, membangun kerja sama yang produktif dan konstruktif bagi kepentingan keadilan dan kemanusiaan. Itulah makna hidup orang beriman.

 

E. Paham Pluralisme Agama, Apakah Mungkin?

Gambar Pluralisme di Indonesia

Sejak awal tahun 1990an ketika globalisasi popular ke berbagai belahan dunia, manusia dunia mulai menyadari adanya kepentingan untuk memiliki nilai-nilai bersama yang dapat mengikat manusia dunia dalam satu kesatuan dan kerja sama yang saling menguatkan. 

Masyarakat dunia menyadari bahwa manusia yang hidup di planet bumi harus saling bekerja sama untuk membangun kehidupan bersama yang lebih bailk dan bersinergi. 

Namun ada tantangan besar dalam membangun kebersamaan global, yaitu pluralitas atau kemajemukan bangsa-bangsa di dunia. Juga, kemajemukan suku bangsa dalam tiap negara. Maka lahirlah kesadaran pluralisme yang diprakarsai oleh para ahli studi agama-agama. 

Di Indonesia pun demikian, upaya pluralisme secara terus-menerus diprakarsai oleh para tokoh studi agama-agama. Apa itu pluralisme? Pluralisme adalah suatu cara pandang di mana orang berupaya mencari titik temu bagi agama-agama. Pemikiran ini tidak terlepas dari berbagai upaya dan reaksi atas tuntutan kerukunan antar umat beragama.

 

Ada beberapa model hubungan antar umat beragama: 

1.       Eksklusivisme

Eksklusivisme adalah sikap yang memandang agamanya sendirilah yang paling benar dan baik. Sementara itu, agama lain adalah agama yang tidak benar. 

2.       Inklusivisme

Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi theologis dan iman. Sikap inklusif memandang bahwa agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita. Sikap inklusivistik cenderung untuk menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara sedemikian, sehingga hal-hal itu tidak saja cocok tetapi juga dapat diterima. Ringkasnya, sikap inklusif adalah keterbukaan dalam menerima bahwa agama lain memiliki kebenarannya sendiri. Sikap ini merupakan sikap yang umumnya diambil oleh orang-orang Kristen. Memang ada keberagaman dalam menyikapi hubungan antar agama, namun umumnya sikap inklusif lebih dianjurkan oleh para tokoh agama dan nampaknya dapat disesuaikan dengan theologi Kristen 

3.       Pluralisme

Gerald O'Collins dan Edward G. Farrugia berpendapat, Pluralisme adalah pandangan filosofis yang menerima keberagaman agama. Daniel S. Breslauer menyebut pluralisme sebagai: “Suatu situasi di mana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda.”

 

Dengan sikap pluralis, orang berupaya mencari titik temu bagi agama-agama. Titik temu bagi terciptanya dialog dan kerja sama adalah kebersamaan setiap pemeluk agama dalam menghadapi serta memecahkan masalah-masalah kemanusiaan bersama. Orang yang memiliki wawasan pluralisme tidak berarti mempersamakan semua agama. Justru mereka tetap teguh memegang imannya seraya mencari bentuk atau model kerja sama yang dapat mempertemukan semua orang berbeda iman dalam tiitik yang sama yaitu upaya-upaya nyata dalam mengatasi masalah-masalah kemanusiaan, keadilan dan kebenaran secara bersama-sama. 


Menurut Prof. Magnis Suseno, agama barulah menjadi agama yang benar ketika agama melayani kepentingan manusia dan kemanusiaan, tentu saja dalam keadilan dan kebenaran. Agama harus menjadi agama yang manusiawi. Jika orang beragama tidak manusiawi, maka apakah dapat disebut sebagai orang beragama?

 

Dapat disimpulkan cerminan sikap pluralis adalah sebagai berikut:

1. Hidup dalam Perbedaan. Sikap menerima orang lain yang berbeda

2. Saling Menghargai. Mendudukkan semua manusia dalam relasi kesetaraan, tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah.

3. Sikap saling percaya. Rasa saling percaya adalah salah satu unsur terpenting dalam menjalani hubungan antar sesama manusia dalam pebedaan agama maupun kultural atau pun masyarakat.

4. Interdependen (sikap saling membutuhkan/saling ketergantungan). Manusia adalah makhluk sosial (homo socius), antara satu dengan yang lainnya adalah saling membutuhkan dan saling melengkapi.

 

Tokoh-tokoh yang berjuang demi mewujudkan pluarlisme di Indonesia

Gambar Tokoh Pluralisme Indonesia

Gambar-gambar di atas adalah wajah-wajah mereka disebut sebagai tokoh pluralisme di Indonesia. Kalian diminta mencari dari berbagai sumber tentang tokoh-tokoh tersebut. 

Tokoh-tokoh yang berjuang demi mewujudkan pluarlisme di Indonesia adalah orang-orang nasionalis yang amat peduli pada keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. 

Tokoh pluralisme dari kalangan Muslim Gus Dur (Presiden RI ke-3), Prof. Nurcholis Madjid, Prof. Komarudin Hidayat. Dari kalangan agama Budha Bhiku Panjero. Dari kalangan Kristen Dr. h. Sumartana, Pdt. Dr. Eka Darmaputera, Pdt. Dr. Marthin Lukito Sinaga. Dari kalangan agama Katolik ada Prof. Dr. Magnis Suseno, dan Dr. Mudji Sutrisno.

Pdt. Dr. Eka Darmaputera menjelaskan bahwa pluralisme adalah suatu kerangka berpikir dan sikap tertentu dalam menghadapi realitas pluralitas, yaitu sebuah keterbukaan yang tulus dan sungguh-sungguh untuk menyadari dan mengakui perbedaan-perbedaan antara individu dan kelompok-kelompok. Dari sini jelas bahwa Eka Darmaputera mengakui dan mengajak kita menerima pluralitas agama-agama. Ia berharap bahwa orangorang yang berasal dari kelompok-kelompok agama yang beraneka ragam tidak hanya hidup dengan damai, tetapi juga bekerja bersama-sama dalam pro-eksistensi yang kreatif satu sama lain. Tentang perbedaan-perbedaan yang ada antara agama-agama, Eka mengatakan bahwa kita bisa saja memperbandingkannya, tetapi janganlah kita justru mempertandingkannya, sebab agama memang bukan sesuatu yang perlu dipertandingkan. 

Dari beberapa sikap tersebut diatas, banyak orang lebih memilih sikap inklusif, karena masih memberi ruang pada iman dan kepercayaan masing-masing. Bersikap inklusif bukanlah dosa, karena orang tetap setia pada doktrinnya masing-masing, namun juga tidak menolak kehadiran orang berbeda iman. 

Pemerintah sedang giat mensosialisasikan apa yang disebut sebagai “moderasi beragama”, yaitu sikap moderat dalam menerima perbedaan agama. Melalui moderasi beragama masyarakat Indonesia diharapkan mampu dan bersedia membangun kebersamaan dalam berbagai perbedaan.

 

F. Gereja dan Kerukunan Antar Umat Beragama 

Dewan Gereja-Gereja Sedunia (World Council of Churches disingkat WCC) pada tahun 2002 di komite pusat WCC, Faith and Order, Inter-religious Relations, dan Mission and Evangelism, menghasilkan beberapa catatan

berkaitan dengan dialog antar agama ataupun pluralisme. Yaitu: Pemahaman teologis kita tentang pluralitas agama dimulai dengan iman kita kepada satu Tuhan yang menciptakan segala sesuatu, Tuhan yang hidup hadir dan aktif dalam semua ciptaan sejak awal. Alkitab bersaksi tentang Tuhan sebagai Tuhan atas segala bangsa, yang cinta kasih sayang-Nya mencakup semua umat manusia. 

Kita melihat dalam perjanjian dengan Nuh sebuah perjanjian dengan semua ciptaan yang tidak pernah rusak. Kita melihat kebijaksanaan dan keadilan Tuhan meluas sampai ke ujung bumi, seperti Tuhan membimbing bangsa-bangsa melalui tradisi kebijaksanaan dan pemahaman mereka. Kemuliaan Tuhan menembus seluruh ciptaan. Alkitab menyaksikan kehadiran penyelamatan universal Allah sepanjang sejarah manusia melalui Firman atau Kebijaksanaan dan Roh. Anugerah Allah yang ditunjukkan dalam diri Yesus Kristus memanggil kita untuk bersikap penuh kasih dalam hubungan kita dengan orang lain. 

Paulus mengawali himne dengan mengatakan, "Biarlah pikiran yang sama ada di dalam kamu yang ada di dalam Kristus Yesus" (Filipi 2:5). Keramahan kita melibatkan pengosongan diri, dan dalam menerima orang lain dalam cinta tanpa syarat kita berpartisipasi dalam pola cinta dan penebusan Kristus. Memang kasih dan kebaikan orang Kristen tidak terbatas hanya pada mereka yang ada di komunitas kita sendiri; Injil memerintahkan kita untuk mengasihi bahkan musuh kita dan menyerukan berkat atas mereka (Matius 5:43-48; Roma 12:14). Oleh karena itu, sebagai orang Kristen, kita perlu mencari keseimbangan yang tepat antara identitas kita di dalam Kristus dan keterbukaan kita kepada orang lain dalam cinta kenotic (cinta yang memulihkan) yang muncul dari identitas itu sendiri.

 

G. Yesus Mewajibkan Pengikut-Nya untuk Mengasihi Allah dan Sesama Manusia 

Pertanyaan seorang Farisi kepada Yesus tentang hukum yang terutama dalam hukum Taurat mengandung keinginan untuk memilah-milah, manakah hukum yang terutama dan hukum-hukum yang sekunder atau yang kurang penting. Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” 

Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa Yesus mewajibkan kita menciptakan dan memelihara hubungan kasih kepada Allah maupun sesama. Kita diperintahkan mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri. Seorang ahli

Taurat datang dan bertanya kepada Yesus, “Siapakah sesamaku manusia itu?” (Lukas 10:25-37). Mengapa ia bertanya demikian? Di sini pun jelas bahwa orang ini ingin memilah-milah, siapakah yang layak dia kasihi dan siapa yang bisa ia singkirkan. Bukankah ini juga yang sering kita temukan dalam hidup kita sehari-hari? Ada yang kita pilih sebagai teman kita, ada yang kita anggap orang asing, bahkan musuh yang harus disingkirkan. 

Yesus lalu mengisahkan perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati. Ia sengaja memilih orang Samaria sebagai tokoh ceritanya. Mengapa? Orang Samaria sudah ratusan tahun dijauhi oleh orang Israel. Mereka dianggap rendah karena mereka berdarah campuran Israel dengan bangsa Asyur yang menyerang dan menduduki Israel ke Asyur pada tahun 741 SM. Sebagian warga Israel dibuang ke Asyur, dan sejumlah besar orang Asyur dipindahkan ke Israel, sehingga mereka kemudian melakukan perkawinan campuran. Akibatnya, terbentuklah “orang Samaria”. Selain berdarah campuran, agama mereka pun tidak sama dengan agama orang Israel. Kaum Samaria hanya mengakui kelima kitab Taurat dan melakukan ibadah bukan di Yerusalem melainkan di Bukit Gerizim. Karena itu, di mata orang Israel mereka bukan saja tidak murni darahnya, tetapi juga kafir agamanya. 

Pada bagian akhir perumpamaan-Nya, Yesus bertanya: “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" Pernyataaan ini membalikkan pertanyaan sang ahli Taurat. Ia tidak menjawab pertanyaan “Siapakah sesamaku?” Sebaliknya Yesus bertanya, “Siapa yang telah menjadi sesama manusia dari si korban perampokan itu?” Sang ahli Taurat itu pun tidak punya pilihan lain selain menjawab, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Yesus lalu mengatakan: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!” Artinya, pergilah, dan perbuatlah apa yang dilakukan orang Samaria itu. 

Dalam konteks sekarang, siapakah orang Samaria itu? Di masa Yesus, ia adalah orang yang berkeyakinan lain, bahkan disisihkan dari masyarakat Yahudi. Siapakah mereka sekarang? Menurut Kosuke Koyama dalam bukunya Pilgrim or Tourist, kalau Yesus mengucapkan kata-kata itu sekarang, kata “Samaria” mungkin akan digantinya dengan kata-kata lain. Ia akan menyebutkan orang-orang yang beragama lain: orang Hindu, Buddhis, Muslim, Kong Hucu, dll. Yesus akan menyebutkan mereka yang melakukan perbuatan baik, meskipun mereka bukan orang Kristen. 

Mengakui perbuatan baik yang dilakukan orang yang beragama lain akan membuat kita bersikap terbuka. Kita mengakui bahwa bukan hanya orang Kristen yang bisa berbuat baik, tetapi juga orang-orang lain yang berkeyakinan lain. Kita tidak bisa memonopoli kebaikan. Kita juga menyadari ada terlalu banyak tantangan dan persoalan dalam hidup kita sehingga kita membutuhkan bantuan orang lain untuk ikut menyelesaikannya. Inilah dasar-dasar kerukunan antar umat beragama.

 

H. Membangun Kebersamaan dalam Perbedaan 

Pada bagian pelajaran ini kita ingin belajar bagaimana sebaiknya orang-orang yang berbeda keyakinan itu dapat hidup bersama. Bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, budaya, dan agama. Semua itu merupakan kekayaan yang patut disyukuri. Pada sisi lain, keberagaman tersebut dapat melahirkan berbagai gesekan yang pada akhirnya berubah menjadi konlik dan perpecahan. Sebaliknya, kekayaan itu akan menjadi benih kerukunan apabila bangsa kita dapat belajar untuk saling menerima dan menghargai. “Rukun” berarti hidup berdampingan secara damai, saling menolong ketika seseorang atau sebuah kelompok membutuhkannya dalam kesusahan atau malapetaka. 

Kerukunan bukanlah sebuah konsep baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu gotong royong (kerja sama) dan tolong-menolong sudah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat. Mereka sadar bahwa kerja sama sangat dibutuhkan untuk menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan bersama.

Pancasila

Untuk mengakomodasi berbagai perbedaan suku bangsa, budaya, dan agama, para pendiri negara Indonesia telah merumuskan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Rupanya mereka telah membaca adanya bahaya yang akan timbul di kemudian hari karena adanya kepelbagaian dalam suku bangsa, budaya, dan agama. Namun demikian kepelbagaian ini pun dapat dijadikan kekayaan yang harus diterima dan memperkaya budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dipakai untuk merekat berbagai perbedaan dalam satu pelangi yang indah, suatu kesatuan nasional sebagai “bangsa Indonesia”. 

Di samping itu, dasar negara Republik Indonesia – Pancasila – juga mengakui kepelbagaian agama di Indonesia melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila juga memberi ruang yang luas bagi tercipta serta

terpeliharanya hidup rukun antar masyarakat bangsa yang berbeda agama melalui sila kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan (demokrasi), dan keadilan sosial. 

Bagaimana caranya membangun sikap menghargai agama lain dan para pemeluknya? Kata kuncinya di sini adalah keberanian untuk mendengarkan orang lain. Dan itu berarti bersikap terbuka terhadap apa yang dikatakan oleh orang lain tanpa menjadi defensif. Untuk itu, kita harus benar-benar mendalami keyakinan agama kita sendiri. Rasa takut dan sikap yang defensive hanya timbul dari diri orang yang tidak siap untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengganggu keyakinan imannya. 

Kita tidak akan mampu mempersatukan dogma atau ajaran semua agama namun kita dapat mempersatukan semua umat beragama melalui berbagai kerja sama dan upaya untuk menanggulangi masalah-masalah kemanusiaan. Pendekatan dogmatis hanya akan berakhir pada konlik dan perpecahan, namun melalui upaya kemanusiaan semua orang dari latar belakang agama yang berbeda akan dipersatukan sebagai komunitas yang peduli pada kemanusiaan, keadilan dan perdamaian.

 

I. Penutup

Peserta didik berdoa: “Tuhan, Engkau telah menciptakan kami dengan warna kulit dan rambut yang berbeda-beda. Engkau membentuk kami dalam budaya kami yang berbeda-beda. Dan kami menjawab karya-Mu dan kasih-Mu dengan cara yang berbeda-beda pula. Tolonglah kami semua untuk mengenalipekerjaan-Mu di dalam diri sesama kami, juga sesama kami yang beriman dan berkeyakinan yang berbeda dengan iman dan keyakinan kami. Tolonglah kami untuk mengasihi sesama kami, menerima perbedaan-perbedaan di antara kami. Bukannya saling bermusuhan, tolonglah kami untuk hidup dalam kasih yang murni sehingga dengan demikian kami boleh memberikan kesaksian yang hidup bagi kemuliaan nama-Mu. Amin”.

 

K. Refleksi 

Kita adalah orang Indonesia yang beragama, artinya keberagamaan kita hendaknya ditempatkan dalam rangka hidup bersama sebagai satu bangsa. Dalam kerangka inilah dibutuhkan kesadaran inklusif untuk menerima berbagai perbedaan yang ada sebagai kekayaan bangsa Indonesia dan bersedia membangun kerja sama yang konstruktif dalam rangka memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang dihadapi. Contoh nyata adalah dalam menghadapi wabah Covid-19, semua orang saling menolong dan menopang tanpa memandang pebedaan latar belakang agama. Orang Kristen terpanggil untuk menyatakan kasih Allah ditengah bangsa yang majemuk tanpa harus kehilangan imannya.

 

Referensi: 

Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekeri untuk SMP Kelas VII. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Jakarta Pusat. 2021.

Alkitab Elektronik 2.00 – Alkitab Terjemahan Baru ©1974 Lembaga Alkitab Indonesia.

Gambar Yesus bersabda Kasihilah Tuhan Allahmu dari blogspot.comblogspot.com

Gambar Keberagaman Masyarakat Indonesia dari sindunesia.com

Gambar Keberagaman Bangsa Indonesia dari Buku PAK klas 7 tahun 2021

Gambar Pluralisme di Indonesia dari Buku PAK klas 7 tahun 2021

Gambar Tokoh-Tokoh Pluralisme dari Buku PAK klas 7 tahun 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar