Rasul Paulus |
Bacaan Alkitab
II Korintus 4:8-9, “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa
A. Pengantar
Di
kota Thagaste, Afrika Utara,
tinggallah keluarga dengan tiga orang anak. Sang ibu bernama Monika. Ia adalah seorang Kristen yang
taat. Sementara sang bapak bernama Patrisius,
seorang pejabat tinggi di pemerintahan yang membenci kekristenan. Tak
segan-segan ia mencemooh istrinya bila hendak mengajarkan iman Kristen kepada
anak-anaknya. Di bawah pengaruh buruk sang bapak, anak sulungnya hidup dalam
pesta-pora, foya-foya, dan pergaulan bebas. Walaupun sang ibu terus
menasihatinya, anak itu tetap saja bandel.
Melihat
perilaku anak sulungnya, Monika
merasa sangat sedih. Segala cara sudah ia coba untuk menyadarkan anak
sulungnya. Namun, Monika selalu
gagal, tapi, ia tidak putus asa. Dengan sabar, ia terus berusaha membimbing
anaknya. Ia juga tidak pernah putus berdoa bagi anak dan suaminya. “Kiranya Tuhan yang mahabaik dan mahakasih,
melindungi dan membimbing suami dan putraku ke jalan yang benar dan
dikehendaki-Nya,” demikian ia berdoa. Doa itu ia naikkan bertahun-tahun
lamanya dengan tekun dan tabah.
Suatu
hari Patrisius sakit keras. Sesaat
sebelum meninggal dunia, ia bertobat dan meminta agar dibaptis. Sayangnya, hal tersebut tidak membuat anak tertuanya
berubah. Ia tetap hidup dalam dunia kelam, tidak mau bertobat dan terus
menyakiti hati ibunya. Hingga suatu saat sang anak memutuskan untuk
meninggalkan ibunya dan pergi ke Italia. Hati Monika benar-benar hancur. Ia begitu sedih harus berpisah dari
anaknya apalagi di usianya yang ke-29 tahun, anaknya belum berubah. Monika tidak kehilangan pengharapan. Ia
terus mendoakan anaknya.
Saat
itu pun tiba. Di Italia, tepatnya di Kota Milan, sang anak bertemu dengan Uskup Ambrosius yang kemudian
membimbingnya secara pribadi. Akhirnya tepat pada 24 April 387, doa Monika yang dinaikkan lebih dari 20 tahun itu akhirnya terjawab. Hari
itu, anaknya memberikan diri untuk dibaptis,
memutuskan hidup baru, dan bertobat untuk kemudian meninggalkan dosa-dosanya.
Tujuh
bulan kemudian, sang anak kembali ke Afrika Utara dan menjadi Uskup di Hippo pada usia 41 tahun. Sang
anak adalah Agustinus, yang kemudian
dikenal sebagai seorang Bapa Gereja
yang disegani dan dihormati. Seseorang yang kemudian sangat berpengaruh dalam
sejarah gereja. Terima kasih kepada Ibu Monika,
yang tidak pernah kehilangan pengharapan dan tak sekalipun putus asa untuk
mendoakan anaknya. Pengharapan yang mengubah hal yang sebelumnya mustahil
menjadi kenyataan. (Sumber: Augustine of Hippo oleh Peter Brown, 1967).
B. Berharap akan
Kedatangan Mesias
Sejak
Salomo wafat, kerajaan Israel terpecah dua. Tidak ada lagi raja yang dapat
membawa bangsa itu mencapai masa kejayaan seperti pada zaman Daud dan Salomo.
Mereka bahkan menjadi tawanan dan dibuang ke Babel. Selama itu, umat Israel
menanti-nantikan Allah untuk memulihkan mereka kembali menjadi bangsa yang
merdeka dan makmur, seperti yang dinubuatkan oleh para nabi (Yesaya 40:1-2,
Mikha 5:1-2). Akan tetapi, harapan mereka tidak juga terwujud. Selepas dari
masa pembuangan di Babel, mereka malah mengalami penjajahan dari bangsa Mesir,
Syria, serta Romawi. Tidak kurang dari 500 tahun mereka hidup dalam penjajahan
bangsa lain. Kehidupan mereka sangat sulit; perekonomian kacau dan kondisi
keamanan juga sangat buruk.
Dalam
keadaan demikian, umat Israel terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka
yang sudah kehilangan harapan dan kepercayaan terhadap janji Allah. Tidak
sedikit dari mereka yang memilih untuk memberontak atau menjadi penjahat yang
mengacau keadaan. Kedua, mereka yang masih percaya pada janji Allah dan tetap
berpengharapan akan datangnya Sang Mesias yang akan membebaskan mereka dari
tangan penjajah. Bagi bangsa Yahudi, Mesias adalah tokoh yang dinanti-nantikan
sebagai penyelamat bangsa Yahudi yang akan membawa kebebasan dari
penjajah. Bagi mereka, kedatangan Mesias
akan terjadi pada waktu yang tidak terlalu lama lagi.
Dalam
kelompok kedua ini, ada seorang bernama Simeon. Lukas menyebut Simeon sebagai “seorang yang benar dan saleh yang
menantikan penghiburan bagi Israel” (Lukas 2:25). Ia dengan setia terus
beribadah kepada Tuhan, berdoa, menyembah, dan melayani Tuhan di Bait Allah.
Simeon percaya saatnya akan tiba bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya.
Kepercayaan yang terus dipegang dan dipeliharanya sampai masa tuanya.
Tentu
tidak mudah bagi Simeon untuk terus
mempertahankan keyakinannya itu. Apalagi di tengah ketidakjelasan nasib
bangsanya, juga keadaan fisiknya yang semakin menurun karena usia lanjut. Akan
tetapi, Simeon tetap berpengharapan. Ia tetap teguh meyakini bahwa ia akan
melihat Sang Mesias yang ditunggutunggu itu (Lukas 2:26).
Pengharapan
Simeon tidak sia-sia. Suatu hari, Roh Kudus menggerakkan hatinya untuk datang
ke Bait Suci. Di sana, ia bertemu dengan Maria dan Yusuf yang sedang membawa
bayi Yesus. Sebagaimana aturan dalam hukum Taurat, beberapa hari setelah
dilahirkan, setiap bayi laki-laki harus dibawa ke Bait Suci untuk diserahkan
kepada Allah.
Begitu
melihat bayi Yesus, Simeon segera menggendong-Nya. Sambil memuji Allah ia pun
berseru, “Sekarang, Tuhan, biarkanlah
hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku
telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di
hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa
lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel” (Lukas 2:29-32). Pujian
ini adalah ungkapan sukacita Simeon bahwa ia boleh mengalami bagaimana janji Allah
digenapi, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi seluruh umat Israel.
C. Pentingnya
Memiliki Harapan
Simeon bertemu bayi Yesus |
Dari
Simeon kita belajar bahwa penting sekali untuk hidup berpengharapan, tidak
berputus asa, bahkan sebaliknya, berpegang teguh pada keyakinan akan janji
Allah. Pengharapan akan membuat kita mampu bertahan dalam situasi yang sangat
sulit sekalipun. Seseorang yang memiliki pengharapan akan selalu tabah dan
sabar. Sebab pengharapan akan memberi kita alasan untuk terus bergerak maju,
dan bukan diam terpaku sambil meratapi keadaan.
Pengharapan
seumpama motor yang menggerakkan roda hidup kita melewati jalanan terjal dan
berliku. Itulah sebabnya, penulis Kitab Ibrani menggambarkan pengharapan
sebagai sauh (jangkar) yang kuat dan aman bagi jiwa. “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang
telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir” (Ibrani 6:19). Sebuah kapal
tanpa sauh akan mudah lepas terbawa ombak. Begitu juga bila kita hidup tanpa
pengharapan, akan sangat rapuh dan mudah terbawa arus dunia yang menyeret.
Kisah
Simeon adalah contoh, betapa pengharapan yang dipegang teguh tidak akan
sia-sia. Begitu juga kisah Monika, ibu dari Agustinus. Pengharapan mereka
menjadi kenyataan. Bayangkan kalau mereka berputus asa, menyerah, dan tidak mau
bertekun lagi. Simeon mungkin tidak akan pernah bertemu bayi Yesus seumur
hidupnya. Monika juga mungkin tidak akan pernah melihat Agustinus bertobat,
apalagi menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah gereja.
Bila
sekarang ini hidupmu sedang mengalami bermacam masalah dan kesulitan, entah itu
di rumah atau di sekolah, janganlah berputus asa. Tetaplah berpegang teguh pada
pengharapan bahwa semua masalah dan kesulitan itu pada saatnya akan berlalu.
Kehidupan yang lebih baik di masa depan akan kamu alami. Dengan demikian, kamu
akan terus didorong untuk tetap berusaha dan berdoa. Seperti yang dialami
Paulus. “Dalam segala hal kami ditindas,
namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa” (2 Korintus 4:8).
Dalam
segala keadaan sulit yang kita hadapi, jangan pernah berputus asa. Berpeganglah
teguh pada pengharapan bahwa akan ada saatnya segala kesulitan itu berlalu.
Kuncinya adalah bertekun dalam berdoa dan jangan berhenti berusaha. Lakukan
yang terbaik dari apa yang dapat kita lakukan. Selebihnya kita serahkan kepada
Tuhan. Itu akan membuahkan hasil yang baik. Tidak saja bagi diri sendiri,
tetapi juga bagi orang-orang di sekeliling kita. Tuhan tahu yang terbaik untuk
kita, dan Dia tidak akan pernah mengecewakan.
D. Penutup
Pengharapan
adalah keyakinan bahwa pada saatnya hal-hal yang baik akan terjadi, cepat atau
lambat. Pengharapan itulah yang memungkinkan kita untuk selalu tabah berusaha
dan bertekun dalam doa. Hidup tanpa
pengharapan sangat rapuh, kita akan mudah berputus asa dan meratapi diri.
Akibatnya, kita tidak akan pernah keluar dari keadaan sulit yang kita
alami. Ketekunan dalam berpengharapan
akan selalu membuahkan hasil yang baik. Tidak saja bagi diri kita sendiri,
tetapi juga bagi orang-orang lain di sekeliling kita. Sumber pengharapan kita adalah Tuhan. Tuhan
tahu yang terbaik buat diri kita, dan Dia tidak akan mengecewakan.
Referensi
Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti / Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk SMP Kelas 8 -- Jakarta: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2017.
Alkitab Elektronik 2.0.0 – Alkitab Terjemahan Baru © 1974 –
Lembaga Alkitab Indonesia
Gambar Rasul Paulus dari https://assetsnffrgf-a.akamaihd.net/assets.jpg
Gambar Simeon dari https://yandex.com/images/simeon
Baca juga:
PAK Kelas 8 Semester 1 | |
01 | |
02 | |
03 | |
04 | |
05 | |
06 | |
07 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar