Rabu, 09 Maret 2022

Hidup Berpengharapan

 

Rasul Paulus
Rasul Paulus

Bacaan Alkitab

II Korintus 4:8-9, “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa 

 

A. Pengantar

Di kota Thagaste, Afrika Utara, tinggallah keluarga dengan tiga orang anak. Sang ibu bernama Monika. Ia adalah seorang Kristen yang taat. Sementara sang bapak bernama Patrisius, seorang pejabat tinggi di pemerintahan yang membenci kekristenan. Tak segan-segan ia mencemooh istrinya bila hendak mengajarkan iman Kristen kepada anak-anaknya. Di bawah pengaruh buruk sang bapak, anak sulungnya hidup dalam pesta-pora, foya-foya, dan pergaulan bebas. Walaupun sang ibu terus menasihatinya, anak itu tetap saja bandel.

Melihat perilaku anak sulungnya, Monika merasa sangat sedih. Segala cara sudah ia coba untuk menyadarkan anak sulungnya. Namun, Monika selalu gagal, tapi, ia tidak putus asa. Dengan sabar, ia terus berusaha membimbing anaknya. Ia juga tidak pernah putus berdoa bagi anak dan suaminya. “Kiranya Tuhan yang mahabaik dan mahakasih, melindungi dan membimbing suami dan putraku ke jalan yang benar dan dikehendaki-Nya,” demikian ia berdoa. Doa itu ia naikkan bertahun-tahun lamanya dengan tekun dan tabah.

Suatu hari Patrisius sakit keras. Sesaat sebelum meninggal dunia, ia bertobat dan meminta agar dibaptis. Sayangnya, hal tersebut tidak membuat anak tertuanya berubah. Ia tetap hidup dalam dunia kelam, tidak mau bertobat dan terus menyakiti hati ibunya. Hingga suatu saat sang anak memutuskan untuk meninggalkan ibunya dan pergi ke Italia. Hati Monika benar-benar hancur. Ia begitu sedih harus berpisah dari anaknya apalagi di usianya yang ke-29 tahun, anaknya belum berubah. Monika tidak kehilangan pengharapan. Ia terus mendoakan anaknya.

Saat itu pun tiba. Di Italia, tepatnya di Kota Milan, sang anak bertemu dengan Uskup Ambrosius yang kemudian membimbingnya secara pribadi. Akhirnya tepat pada 24 April 387, doa Monika yang dinaikkan lebih dari 20 tahun itu akhirnya terjawab. Hari itu, anaknya memberikan diri untuk dibaptis, memutuskan hidup baru, dan bertobat untuk kemudian meninggalkan dosa-dosanya.

Tujuh bulan kemudian, sang anak kembali ke Afrika Utara dan menjadi Uskup di Hippo pada usia 41 tahun. Sang anak adalah Agustinus, yang kemudian dikenal sebagai seorang Bapa Gereja yang disegani dan dihormati. Seseorang yang kemudian sangat berpengaruh dalam sejarah gereja. Terima kasih kepada Ibu Monika, yang tidak pernah kehilangan pengharapan dan tak sekalipun putus asa untuk mendoakan anaknya. Pengharapan yang mengubah hal yang sebelumnya mustahil menjadi kenyataan. (Sumber: Augustine of Hippo oleh Peter Brown, 1967).


B. Berharap akan Kedatangan Mesias

Sejak Salomo wafat, kerajaan Israel terpecah dua. Tidak ada lagi raja yang dapat membawa bangsa itu mencapai masa kejayaan seperti pada zaman Daud dan Salomo. Mereka bahkan menjadi tawanan dan dibuang ke Babel. Selama itu, umat Israel menanti-nantikan Allah untuk memulihkan mereka kembali menjadi bangsa yang merdeka dan makmur, seperti yang dinubuatkan oleh para nabi (Yesaya 40:1-2, Mikha 5:1-2). Akan tetapi, harapan mereka tidak juga terwujud. Selepas dari masa pembuangan di Babel, mereka malah mengalami penjajahan dari bangsa Mesir, Syria, serta Romawi. Tidak kurang dari 500 tahun mereka hidup dalam penjajahan bangsa lain. Kehidupan mereka sangat sulit; perekonomian kacau dan kondisi keamanan juga sangat buruk.

Dalam keadaan demikian, umat Israel terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang sudah kehilangan harapan dan kepercayaan terhadap janji Allah. Tidak sedikit dari mereka yang memilih untuk memberontak atau menjadi penjahat yang mengacau keadaan. Kedua, mereka yang masih percaya pada janji Allah dan tetap berpengharapan akan datangnya Sang Mesias yang akan membebaskan mereka dari tangan penjajah. Bagi bangsa Yahudi, Mesias adalah tokoh yang dinanti-nantikan sebagai penyelamat bangsa Yahudi yang akan membawa kebebasan dari penjajah.  Bagi mereka, kedatangan Mesias akan terjadi pada waktu yang tidak terlalu lama lagi.

Dalam kelompok kedua ini, ada seorang bernama Simeon. Lukas menyebut Simeon sebagai “seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel” (Lukas 2:25). Ia dengan setia terus beribadah kepada Tuhan, berdoa, menyembah, dan melayani Tuhan di Bait Allah. Simeon percaya saatnya akan tiba bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya. Kepercayaan yang terus dipegang dan dipeliharanya sampai masa tuanya.

Tentu tidak mudah bagi Simeon untuk  terus mempertahankan keyakinannya itu. Apalagi di tengah ketidakjelasan nasib bangsanya, juga keadaan fisiknya yang semakin menurun karena usia lanjut. Akan tetapi, Simeon tetap berpengharapan. Ia tetap teguh meyakini bahwa ia akan melihat Sang Mesias yang ditunggutunggu itu (Lukas 2:26).

Pengharapan Simeon tidak sia-sia. Suatu hari, Roh Kudus menggerakkan hatinya untuk datang ke Bait Suci. Di sana, ia bertemu dengan Maria dan Yusuf yang sedang membawa bayi Yesus. Sebagaimana aturan dalam hukum Taurat, beberapa hari setelah dilahirkan, setiap bayi laki-laki harus dibawa ke Bait Suci untuk diserahkan kepada Allah.

Begitu melihat bayi Yesus, Simeon segera menggendong-Nya. Sambil memuji Allah ia pun berseru, “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel” (Lukas 2:29-32). Pujian ini adalah ungkapan sukacita Simeon bahwa ia boleh mengalami bagaimana janji Allah digenapi, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi seluruh umat Israel.


C. Pentingnya Memiliki Harapan

Simeon bertemu bayi Yesus
Simeon bertemu bayi Yesus

Dari Simeon kita belajar bahwa penting sekali untuk hidup berpengharapan, tidak berputus asa, bahkan sebaliknya, berpegang teguh pada keyakinan akan janji Allah. Pengharapan akan membuat kita mampu bertahan dalam situasi yang sangat sulit sekalipun. Seseorang yang memiliki pengharapan akan selalu tabah dan sabar. Sebab pengharapan akan memberi kita alasan untuk terus bergerak maju, dan bukan diam terpaku sambil meratapi keadaan.

Pengharapan seumpama motor yang menggerakkan roda hidup kita melewati jalanan terjal dan berliku. Itulah sebabnya, penulis Kitab Ibrani menggambarkan pengharapan sebagai sauh (jangkar) yang kuat dan aman bagi jiwa. “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir” (Ibrani 6:19). Sebuah kapal tanpa sauh akan mudah lepas terbawa ombak. Begitu juga bila kita hidup tanpa pengharapan, akan sangat rapuh dan mudah terbawa arus dunia yang menyeret.

Kisah Simeon adalah contoh, betapa pengharapan yang dipegang teguh tidak akan sia-sia. Begitu juga kisah Monika, ibu dari Agustinus. Pengharapan mereka menjadi kenyataan. Bayangkan kalau mereka berputus asa, menyerah, dan tidak mau bertekun lagi. Simeon mungkin tidak akan pernah bertemu bayi Yesus seumur hidupnya. Monika juga mungkin tidak akan pernah melihat Agustinus bertobat, apalagi menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah gereja.

Bila sekarang ini hidupmu sedang mengalami bermacam masalah dan kesulitan, entah itu di rumah atau di sekolah, janganlah berputus asa. Tetaplah berpegang teguh pada pengharapan bahwa semua masalah dan kesulitan itu pada saatnya akan berlalu. Kehidupan yang lebih baik di masa depan akan kamu alami. Dengan demikian, kamu akan terus didorong untuk tetap berusaha dan berdoa. Seperti yang dialami Paulus. “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa” (2 Korintus 4:8).

Dalam segala keadaan sulit yang kita hadapi, jangan pernah berputus asa. Berpeganglah teguh pada pengharapan bahwa akan ada saatnya segala kesulitan itu berlalu. Kuncinya adalah bertekun dalam berdoa dan jangan berhenti berusaha. Lakukan yang terbaik dari apa yang dapat kita lakukan. Selebihnya kita serahkan kepada Tuhan. Itu akan membuahkan hasil yang baik. Tidak saja bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang-orang di sekeliling kita. Tuhan tahu yang terbaik untuk kita, dan Dia tidak akan pernah mengecewakan.


D. Penutup

Pengharapan adalah keyakinan bahwa pada saatnya hal-hal yang baik akan terjadi, cepat atau lambat. Pengharapan itulah yang memungkinkan kita untuk selalu tabah berusaha dan bertekun dalam doa.  Hidup tanpa pengharapan sangat rapuh, kita akan mudah berputus asa dan meratapi diri. Akibatnya, kita tidak akan pernah keluar dari keadaan sulit yang kita alami. Ketekunan dalam berpengharapan akan selalu membuahkan hasil yang baik. Tidak saja bagi diri kita sendiri, tetapi juga bagi orang-orang lain di sekeliling kita.  Sumber pengharapan kita adalah Tuhan. Tuhan tahu yang terbaik buat diri kita, dan Dia tidak akan mengecewakan.

 

Referensi

Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk SMP Kelas 8 -- Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.

Alkitab Elektronik 2.0.0 – Alkitab Terjemahan Baru © 1974 – Lembaga Alkitab Indonesia

Gambar Rasul Paulus dari https://assetsnffrgf-a.akamaihd.net/assets.jpg

Gambar Simeon dari https://yandex.com/images/simeon 

Baca juga:

PAK Kelas 8 Semester 1

01

Hidup Beriman

02

Hidup Berpengharapan

03

Memilih untuk Tidak Berputus Asa

04

Dampak dari Hidup Beriman dan Pengharapan

05

Roh Kudus Penopang Hidup Orang Beriman

06

Yesus Teladanku

07

Belajar dari Para Martir

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar